Kita sudah menikmati usia kemerdekaan yang
sudah tua, dari mulai orde lama sampai pada reformasipun sudah kita alami
bersama. Ironisnya, visi kebangsaan sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD
1945 ternyata belum bisa tercapai. Data
resmi BPS (Badan Pusat Statistik) melakukan penggalian data bahwa angka
kemiskinan negeri ini sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 35 juta jiwa. Sementara jika menggunakan data World Bank (Bank Dunia) yang menggunakan
indikator penghasilan 2 dollar per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia
sudah mencapai 100 juta jiwa (setara dengan 49,5 persen dari total penduduk
Indonesia). Angka pengangguran terus meningkat, tingkat kriminalitas pun tidak
kunjung menurun. Indeks prestasi korupsi negara kita juga masih sangat
memprihatinkan. Hingga kini, Indonesia masih tetap “setia” berada pada jajaran
negara paling korup di dunia. Masalah kehidupan negara ini dibiarkan datang
silih berganti. 67 tahun rakyat negara ini belum sejahtera adalah bukti mengapa
janji-janji itu hanya sebatas bahan kampanye. Hal ini diyakini sebagai
kontribusi tidak relevan dari misi yang diutarakan ke publik.
Problematika bangsa indonesia tidak pernah ada
habisnya, memasuki pertengan tahun 2013. Pemerintah kembali berencana menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Hal Menarik untuk dikaji lebih dalam
terkait isu tersebut. Meskipun bukan merupakan isu baru yang menggemparkan.
Akan tetapi tetap saja menimbulkan sebuah goncangan, tidak hanya dalam bidang
ekonomi tetapi politik dan sosial. Kegoncangan diprediksi akan marak terjadi
melihat sebegitu vitalnya peran BBM dalam mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari. Seperti sejarah yang telah terjadi sebelumnya, kenaikan BBM memicu
inflasi terhadap segala bahan pokok dan ujung-ujungnya rakyat lagi yang
dirugikan, rakyat lagi yang jadi korban.
Tidak dapat dipungkuri bahwa setiap
kebijakan pemerintah bukan tanpa alasan, sebagaimana kenaikan BBM kali ini. Ada
dua alasan yang melatar belakangi naiknya BBM kali ini, yaitu : 1.) Pemerintah
tidak punya pilihan lain untuk menambal Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara
(APBN) yang sudah menipis. 2.) Situasi minyak yang kian tidak menentu dan
kebutuhan pembangunan infrastruktur.
Kedua alasan tersebut seakan-akan menjadi satu-satunya solusi.
Ledakan media massa pun tak
terkendalikan, spekulasi mengenai harga BBM pun meledak dipublik. Ada dua opsi
yang ditawarkan pemerintah terkait dengan harga. Pertama harga Rp.6500,00 per
liter untuk mobil pribadi dan Rp.45.00 per liter untuk motor dan angkutan umum.
Namun rencana ini batal karena kwatir jika diberlakukan dua harga akan
merepotkan masyarakat. Kedua, pemerintah akhirnya menetapkan satu harga dengan
kisarasan tidak lebih dari harga Rp.6500,00 per liter.
Memamg ada solusi pemerintah untuk
meringankan beban masyarakat miskin dengan mencanangkan dana konpensasi.
Terkait dengan nominalnya masih belum jelas karena pemerintah masih membahasnya
dengan DPR. Namun, kita harus bersikap kritis.Perlu diingat bantuan semacam itu
seringkali tidak tepat sasaran dan justru dinikmati oleh oknom-oknom tertentu,
sebab itulah, berapa pun besaran yang di salurkan pemerintah tetap harus ada
kontrol khususnya dalam merealisasikan.
Mungkin secara logika sesaat, kita
tidak menolak pemerintah untuk menaikkan BBM. Karena hal itu sebuag iktikad
baik guna menyelamatkan APBN. Tanda tanya besar, sesederhana itu kah? Pada
titik inilah kita dituntut harus mampu mengkritisi secara tajam dan
proporsional.
Setiap kebijakan yang lahir selalu
menghadirkan bias politik dan sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak akan lepas
dari dugaan-dugaan politik. Meski secara logika bisa dinilai positif, namun
bukan tidak mungkin ada kepentingan pragmatis didalamnya. Perlu ditekankan
kembali bahwa kita harus peka dan jeli manganalisa hal itu. Menjadi tugas kita
bersama untuk membongkar bias politik itu agar menjadi terang benderang apa
sebetulnya kepentingan pemerintah menaikkan harga BBM.
Paradigma kritis menjadi referensi mati
untuk menganalisis problematika ini. Paling tidak, ada tiga hal yang harus
menjadi pandangan kita secara politis. Pertama, bertambanya APBN nanti bisa
jadi akan memperluas kepentingan laten praktik koprupsi. Secara logis hal ini
dapat diterima oleh akal sehat. Alih-alih demi kepentingan masyarakat, justru
dijadikan lahan subur mengeruk keuntungan. Interpretasinya, menaikkan harga BBM
bisa jadi tidak semata untuk menyelamatkan
dan menambal kekurangn APBN, tetapi sangat mungkin ada kepentingan korup
di balik kebijakan itu.
Kedua, tidak menutup kemungkinan kebijakan
tersebut merupakan politik menaikkan gaji. jika nanti harga BBM benar-benar
dinaikkan dan APBN bertambah jelas menjadi peluang pejabat untuk meminta
kenaikan gaji yang di lakoni sekarang. Bukan sesuatu yang mustahil “ketamakan”
para pejabat menjadi agenda yang terselubung.
Ketiga, program kompensasi kenaikan BBM diakui
rawan manipulasi khususnya oleh oknom-oknom yang hanya mementingkan eksistensi
pribadinya. Hal ini jangan sampai terjadi. Semua pihak wajib mengawal dan
mengontrol program tersebut agar benar-benar terealisasikan kelapisan
masyarakat dan tidak mengandung bias-bias politik.
Kenaikan BBM sangat besar dampaknya terhadap
lapisan masyarakat, seperti naiknya harga bahan pokok, harga beras, bawang, dan daging yang sulit
dijangkau oleh moyoritas masyarakat miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar