SELAMAT DATANG

Membaca Adalah Jendela Dunia

Jumat, 14 Juni 2013

Problematika Klasik; Bahaya Kenaikan BBM


Kita sudah menikmati usia kemerdekaan yang sudah tua, dari mulai orde lama sampai pada reformasipun sudah kita alami bersama. Ironisnya, visi kebangsaan sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 ternyata belum bisa tercapai.  Data resmi BPS (Badan Pusat Statistik) melakukan penggalian data bahwa angka kemiskinan negeri ini sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 35 juta jiwa. Sementara jika menggunakan data World Bank (Bank Dunia) yang menggunakan indikator penghasilan 2 dollar per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia sudah mencapai 100 juta jiwa (setara dengan 49,5 persen dari total penduduk Indonesia). Angka pengangguran terus meningkat, tingkat kriminalitas pun tidak kunjung menurun. Indeks prestasi korupsi negara kita juga masih sangat memprihatinkan. Hingga kini, Indonesia masih tetap “setia” berada pada jajaran negara paling korup di dunia. Masalah kehidupan negara ini dibiarkan datang silih berganti. 67 tahun rakyat negara ini belum sejahtera adalah bukti mengapa janji-janji itu hanya sebatas bahan kampanye. Hal ini diyakini sebagai kontribusi tidak relevan dari misi yang diutarakan ke publik.
Problematika bangsa indonesia tidak pernah ada habisnya, memasuki pertengan tahun 2013. Pemerintah kembali berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.  Hal Menarik untuk dikaji lebih dalam terkait isu tersebut. Meskipun bukan merupakan isu baru yang menggemparkan. Akan tetapi tetap saja menimbulkan sebuah goncangan, tidak hanya dalam bidang ekonomi tetapi politik dan sosial. Kegoncangan diprediksi akan marak terjadi melihat sebegitu vitalnya peran BBM dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Seperti sejarah yang telah terjadi sebelumnya, kenaikan BBM memicu inflasi terhadap segala bahan pokok dan ujung-ujungnya rakyat lagi yang dirugikan, rakyat lagi yang jadi korban.
            Tidak dapat dipungkuri bahwa setiap kebijakan pemerintah bukan tanpa alasan, sebagaimana kenaikan BBM kali ini. Ada dua alasan yang melatar belakangi naiknya BBM kali ini, yaitu : 1.) Pemerintah tidak punya pilihan lain untuk menambal Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) yang sudah menipis. 2.) Situasi minyak yang kian tidak menentu dan kebutuhan  pembangunan infrastruktur. Kedua alasan tersebut seakan-akan menjadi satu-satunya solusi.
            Ledakan media massa pun tak terkendalikan, spekulasi mengenai harga BBM pun meledak dipublik. Ada dua opsi yang ditawarkan pemerintah terkait dengan harga. Pertama harga Rp.6500,00 per liter untuk mobil pribadi dan Rp.45.00 per liter untuk motor dan angkutan umum. Namun rencana ini batal karena kwatir jika diberlakukan dua harga akan merepotkan masyarakat. Kedua, pemerintah akhirnya menetapkan satu harga dengan kisarasan tidak lebih dari harga Rp.6500,00 per liter.
            Memamg ada solusi pemerintah untuk meringankan beban masyarakat miskin dengan mencanangkan dana konpensasi. Terkait dengan nominalnya masih belum jelas karena pemerintah masih membahasnya dengan DPR. Namun, kita harus bersikap kritis.Perlu diingat bantuan semacam itu seringkali tidak tepat sasaran dan justru dinikmati oleh oknom-oknom tertentu, sebab itulah, berapa pun besaran yang di salurkan pemerintah tetap harus ada kontrol khususnya dalam merealisasikan.
            Mungkin secara logika sesaat, kita tidak menolak pemerintah untuk menaikkan BBM. Karena hal itu sebuag iktikad baik guna menyelamatkan APBN. Tanda tanya besar, sesederhana itu kah? Pada titik inilah kita dituntut harus mampu mengkritisi secara tajam dan proporsional.
            Setiap kebijakan yang lahir selalu menghadirkan bias politik dan sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak akan lepas dari dugaan-dugaan politik. Meski secara logika bisa dinilai positif, namun bukan tidak mungkin ada kepentingan pragmatis didalamnya. Perlu ditekankan kembali bahwa kita harus peka dan jeli manganalisa hal itu. Menjadi tugas kita bersama untuk membongkar bias politik itu agar menjadi terang benderang apa sebetulnya kepentingan pemerintah menaikkan harga BBM.
            Paradigma kritis menjadi referensi mati untuk menganalisis problematika ini. Paling tidak, ada tiga hal yang harus menjadi pandangan kita secara politis. Pertama, bertambanya APBN nanti bisa jadi akan memperluas kepentingan laten praktik koprupsi. Secara logis hal ini dapat diterima oleh akal sehat. Alih-alih demi kepentingan masyarakat, justru dijadikan lahan subur mengeruk keuntungan. Interpretasinya, menaikkan harga BBM bisa jadi tidak semata untuk menyelamatkan  dan menambal kekurangn APBN, tetapi sangat mungkin ada kepentingan korup di balik kebijakan itu.
Kedua, tidak menutup kemungkinan kebijakan tersebut merupakan politik menaikkan gaji. jika nanti harga BBM benar-benar dinaikkan dan APBN bertambah jelas menjadi peluang pejabat untuk meminta kenaikan gaji yang di lakoni sekarang. Bukan sesuatu yang mustahil “ketamakan” para pejabat menjadi agenda yang terselubung.
Ketiga, program kompensasi kenaikan BBM diakui rawan manipulasi khususnya oleh oknom-oknom yang hanya mementingkan eksistensi pribadinya. Hal ini jangan sampai terjadi. Semua pihak wajib mengawal dan mengontrol program tersebut agar benar-benar terealisasikan kelapisan masyarakat dan tidak mengandung bias-bias politik.
Kenaikan BBM sangat besar dampaknya terhadap lapisan masyarakat, seperti naiknya harga bahan pokok,  harga beras, bawang, dan daging yang sulit dijangkau oleh moyoritas masyarakat miskin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar